Abstrak
Sebagai negara yang tergolong sangat rawan terhadap berbagai jenis bencana alam, Indonesia membutuhkan sistem komunikasi darurat yang dapat diandalkan dan selalu tersedia. Sayangnya, sistem komunikasi yang masih banyak digunakan saat ini umumnya berbasis teknologi pita sempit (narrowband), yang memiliki keterbatasan dalam kapasitas data dan tidak mampu mendukung kebutuhan komunikasi kompleks saat kondisi krisis. Dalam situasi darurat, keterlambatan informasi dan kurangnya koordinasi antarlembaga dapat berdampak fatal. Oleh karena itu, penggunaan sistem komunikasi berbasis broadband (pita lebar) dengan pendekatan model hybrid—yang menggabungkan jaringan inti milik pemerintah dan akses jaringan milik operator swasta—merupakan strategi yang sangat disarankan. Kajian ini tidak hanya membandingkan penerapan model serupa di negara lain, tetapi juga menyoroti pentingnya kesiapan regulasi, availability infrastruktur, serta kapasitas teknis dan kelembagaan dalam mendukung implementasi sistem komunikasi bencana yang tangguh dan berkelanjutan di Indonesia.
Kata Kunci: sistem komunikasi, bencana alam, model hybrid, broadband, availability
Abstract
As a country that is highly vulnerable to various types of natural disasters, Indonesia needs a reliable and always available emergency communication system. Unfortunately, the communication systems that are still widely used today are generally based on narrowband technology, which has limited data capacity and is unable to support complex communication needs during a crisis. In an emergency situation, information delays and lack of coordination between institutions can have fatal consequences. Therefore, the use of a broadband-based communication system with a hybrid model approach—which combines the government's core network and private operator network access—is a highly recommended strategy. This study not only compares the implementation of similar models in other countries, but also highlights the importance of regulatory readiness, infrastructure availability, and technical and institutional capacity in supporting the implementation of a resilient and sustainable disaster communication system in Indonesia..
Keywords: communication system, natural disaster, hybrid model, broadband, availability.
1. PENDAHULUAN
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan tingkat risiko bencana alam tertinggi di dunia. Letak geografisnya yang berada di kawasan Cincin Api Pasifik (Ring of Fire) menjadikan wilayah ini sangat rentan terhadap berbagai fenomena geologis dan hidrometeorologis. Bencana seperti gempa bumi, tsunami, tanah longsor, banjir bandang, kekeringan, serta erupsi gunung berapi kerap terjadi secara berulang setiap tahun. Tidak hanya mengancam keselamatan jiwa manusia, bencana-bencana tersebut juga mengganggu stabilitas sosial, ekonomi, dan pembangunan infrastruktur nasional.
Dalam konteks penanggulangan bencana, kecepatan dan keakuratan informasi merupakan kunci utama dalam pengambilan keputusan yang tepat dan cepat. Di sinilah peran sistem komunikasi menjadi sangat penting. Sistem komunikasi radio, sebagai salah satu sarana utama dalam penyebaran informasi dan koordinasi lapangan, berperan vital dalam mendukung operasional tim tanggap darurat, lembaga pemerintah, dan organisasi kemanusiaan. Sistem ini menjadi penghubung utama antara pusat komando dan unit-unit kerja di lapangan, terutama ketika jaringan komunikasi umum seperti jaringan seluler atau internet mengalami gangguan atau bahkan lumpuh akibat bencana.
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sistem komunikasi yang digunakan di Indonesia masih menghadapi banyak kendala, baik dari segi teknologi, kapasitas, maupun cakupan layanan. Sebagian besar instansi masih mengandalkan teknologi pita sempit (narrowband) yang memiliki keterbatasan dalam kapasitas transmisi data dan interoperabilitas antarinstansi. Padahal, dalam situasi darurat, dibutuhkan sistem komunikasi yang mampu mengirimkan tidak hanya suara, tetapi juga data lokasi, citra visual, dan video real-time untuk mendukung pemantauan dan pengambilan keputusan. Keterlambatan komunikasi atau ketidaktersediaan jaringan pada saat genting dapat menyebabkan kekacauan koordinasi, keterlambatan evakuasi, dan bahkan bertambahnya jumlah korban.
Oleh karena itu, ketersediaan (availability) sistem komunikasi radio yang andal dan tahan terhadap gangguan menjadi kebutuhan mendesak bagi negara seperti Indonesia. Diperlukan inovasi dan modernisasi sistem komunikasi yang tidak hanya cepat dan stabil, tetapi juga mampu tetap beroperasi dalam kondisi infrastruktur yang terbatas atau rusak. Salah satu pendekatan yang mulai banyak dikaji dan diadopsi di berbagai negara adalah pemanfaatan teknologi pita lebar (broadband) melalui model hybrid, yang memadukan jaringan milik pemerintah dengan jaringan milik operator seluler swasta. Model ini diyakini dapat menjawab tantangan ketersediaan komunikasi darurat dengan lebih efisien dan fleksibel, serta mampu menjangkau wilayah luas dan terpencil yang kerap menjadi titik rawan bencana.
Artikel ini akan membahas secara sistematis cara meningkatkan availability dalam sistem komunikasi radio sebagai penanggulangan dari bencana alam.
2. LANDASAN TEORI
2.1 KONSEP AVAILABILITY DALAM SISTEM KOMUNIKASI
Availability atau ketersediaan dalam sistem komunikasi merujuk pada kemampuan layanan komunikasi untuk tetap beroperasi secara kontinu dan andal, terutama dalam kondisi darurat. Dalam konteks penanggulangan bencana, availability sangat krusial karena menentukan kelancaran koordinasi dan distribusi informasi yang berdampak langsung pada kecepatan dan efektivitas respon. Sistem komunikasi yang memiliki availability tinggi harus mampu beroperasi tanpa gangguan dalam jangka waktu lama dan cepat dipulihkan jika terjadi kerusakan. Faktor-faktor yang memengaruhi availability antara lain keandalan perangkat keras, infrastruktur jaringan, sistem cadangan (redundancy), serta ketahanan terhadap gangguan lingkungan. Dalam perhitungan teknis, availability biasanya ditentukan oleh rasio antara waktu rata-rata beroperasi (MTBF) terhadap total waktu operasi dan waktu perbaikan (MTTR). Semakin tinggi nilai availability, semakin dapat diandalkan sistem tersebut dalam situasi kritis.
2.2 MODEL BROADBAND DALAM KOMUNIKASI DARURAT
Teknologi pita lebar (broadband) merupakan solusi komunikasi modern yang menawarkan kapasitas data tinggi dan latensi rendah. Dalam konteks penanggulangan bencana, broadband memungkinkan pengiriman informasi secara real-time dalam berbagai format seperti suara, teks, dan video, yang sangat dibutuhkan untuk pengambilan keputusan cepat dan koordinasi lintas instansi. Sistem komunikasi berbasis broadband mendukung integrasi dengan teknologi seperti GPS, peta digital, dan aplikasi darurat. Selain itu, broadband dapat diterapkan dalam berbagai skenario melalui infrastruktur tetap maupun bergerak, seperti BTS portabel, jaringan mesh, dan perangkat berbasis satelit. Model implementasi broadband untuk kebutuhan darurat telah berhasil diterapkan di beberapa negara, seperti Korea Selatan dengan Safe-Net dan Amerika Serikat dengan FirstNet. Kedua model tersebut menunjukkan bahwa broadband mampu meningkatkan availability dan kualitas komunikasi dalam situasi darurat, terutama jika dikombinasikan dengan pendekatan model hybrid yang fleksibel dan efisien.
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 PENDEKATAN PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan studi literatur dan analisis deskriptif kualitatif. Pendekatan ini dipilih untuk menelaah berbagai model sistem komunikasi darurat dari negara lain dan bagaimana model tersebut dapat diadaptasi untuk kebutuhan Indonesia. Studi literatur memungkinkan penelusuran terhadap praktik terbaik, kebijakan, dan penerapan teknologi yang relevan, khususnya dalam konteks Public Protection and Disaster Relief (PPDR). Sementara pendekatan deskriptif kualitatif digunakan untuk menjelaskan karakteristik sistem komunikasi secara menyeluruh, tanpa pengolahan data statistik.
3.2 SUMBER DATA
Data penelitian diperoleh dari sumber sekunder yang relevan, seperti jurnal ilmiah, laporan teknis, dokumen kebijakan pemerintah, serta publikasi dari organisasi internasional di bidang telekomunikasi dan kebencanaan. Studi kasus dari negara seperti Amerika Serikat (FirstNet), Korea Selatan (Safe-Net), dan Selandia Baru menjadi rujukan utama dalam mengevaluasi kesesuaian model dengan kondisi Indonesia. Pemilihan literatur dilakukan secara selektif berdasarkan kesesuaian topik, validitas sumber, dan konteks implementasi teknologi.
3.3 TAHAPAN ANALISIS
3.3.1 IDENTIFIKASI AVAIBILITY SISTEM KOMUNIKASI RADIO
Langkah pertama dalam proses analisis adalah mengidentifikasi sejauh mana sistem komunikasi radio yang ada saat ini memiliki tingkat availability yang sesuai dengan kebutuhan penanggulangan bencana. Analisis ini mencakup evaluasi terhadap jenis teknologi yang digunakan (narrowband & broadband), model operasional yang diterapkan (terpisah antarinstansi atau terintegrasi), dan sejauh mana sistem tersebut mampu bertahan dalam kondisi darurat seperti rusaknya infrastruktur atau hilangnya jaringan listrik.
Beberapa indikator yang digunakan untuk menilai availability antara lain cakupan wilayah layanan, ketahanan terhadap gangguan, interoperabilitas antarinstansi, serta kecepatan pemulihan pasca-bencana. Analisis juga mencakup identifikasi faktor-faktor penghambat seperti keterbatasan spektrum, tidak adanya standar nasional komunikasi darurat, dan kurangnya sistem koordinasi terpadu.
3.3.2 EVALUASI KELAYAKAN MODEL HYBRID UNTUK INDONESIA
kelayakan model hybrid sebagai bentuk evaluasi solusi untuk meningkatkan availability komunikasi radio di Indonesia. Model hybrid menggabungkan kendali jaringan inti oleh pemerintah dengan pemanfaatan infrastruktur operator seluler yang telah ada untuk jaringan akses. Dalam evaluasi ini, beberapa aspek yang dikaji meliputi:
• Kelayakan teknis: apakah infrastruktur yang ada cukup mendukung integrasi.
• Kelayakan regulasi: kesiapan kebijakan spektrum dan perizinan kerja sama publik-swasta.
• Kelayakan institusional: kesiapan lembaga dalam mengelola sistem bersama.
• Kelayakan ekonomi: analisis efisiensi biaya dibandingkan dengan model dedicated.
Penilaian ini dilengkapi dengan pembandingan praktik internasional dan pertimbangan konteks lokal seperti kondisi geografis, penyebaran populasi, dan tingkat penetrasi infrastruktur digital.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil studi literatur terhadap implementasi sistem komunikasi darurat di beberapa negara maju, diketahui bahwa pendekatan model hybrid telah menunjukkan kinerja yang efektif dan efisien dalam menjamin ketersediaan komunikasi saat bencana. Amerika Serikat menerapkan sistem FirstNet, Korea Selatan mengembangkan Safe-Net, dan Selandia Baru mengadopsi pendekatan berbasis jaringan komersial dengan dukungan kebijakan pemerintah. Dari ketiga model tersebut, model hybrid seperti yang diterapkan dalam FirstNet dipandang paling sesuai untuk diadaptasi oleh Indonesia, mengingat kompleksitas geografis dan keterbatasan anggaran nasional.
Model hybrid merupakan skema penyelenggaraan sistem komunikasi darurat yang menggabungkan pengendalian core network (jaringan inti) oleh pemerintah dengan pemanfaatan infrastruktur jaringan akses (RAN) milik operator seluler swasta. Pendekatan ini memungkinkan pemerintah tetap memegang kendali terhadap aspek strategis dan keamanan jaringan, namun pada saat yang sama
dapat memanfaatkan sumber daya swasta untuk mempercepat cakupan dan penyebaran infrastruktur.
Keunggulan utama model hybrid terletak pada efisiensi biaya pembangunan, karena tidak semua infrastruktur harus dibangun dari awal oleh pemerintah. Selain itu, implementasi dapat dilakukan dengan lebih cepat karena memanfaatkan jaringan yang telah tersedia. Yang tak kalah penting, model ini dapat memberikan prioritas akses dan jaminan kualitas layanan kepada petugas penanggulangan bencana melalui pengaturan mekanisme priority access dan preemption.
Meskipun demikian, adopsi model hybrid juga dihadapkan pada sejumlah tantangan. Tantangan tersebut antara lain adalah kebutuhan akan regulasi yang jelas dan mendukung, termasuk alokasi spektrum frekuensi yang khusus untuk layanan darurat. Harmonisasi antarinstansi juga menjadi isu penting, mengingat saat ini masih banyak lembaga yang bekerja dengan sistem komunikasi terpisah. Di samping itu, penerapan sistem ini memerlukan kesiapan teknis berupa pelatihan bagi petugas, ketersediaan perangkat komunikasi yang kompatibel dan tahan bencana, serta dukungan sistem manajemen dan pengawasan jaringan yang kuat.
Negara Nama Sistem Model Penyeleng-garaan Pengelola Core Network Jaringan Akses Kelebihan Kesesu-aian dengan Indones-ia
Amerika Serikat FirstNet Hybrid (Publik-Privat) Pemerintah melalui FirstNet Authority AT&T (Operator Swasta) Skalabilitas tinggi, prioritas akses, cepat implementasi Sangat cocok
Korea Selatan Safe-Net Dedicated (Pemerintah) Pemerintah Jaringan eksklusif pemerintah Keamanan tinggi, kontrol penuh Kurang cocok (butuh biaya besar)
Indonesia – Hybrid (Disaran-kan) Pemerintah (usulan Kemenkominfo/
BNPB) Operator Swasta Nasional Efisien biaya, inter opera-bilitas, prioritas layanan Sangat sesuai
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN
Model hybrid dinilai sebagai pendekatan paling tepat untuk meningkatkan availability sistem komunikasi radio di Indonesia, khususnya dalam menghadapi situasi darurat dan penanggulangan bencana. Dengan menggabungkan peran strategis pemerintah dalam mengelola core network serta memanfaatkan jaringan akses milik operator swasta yang telah tersedia luas, model ini menghadirkan solusi yang seimbang antara efisiensi biaya, kecepatan implementasi, dan jaminan kualitas layanan.
Sistem komunikasi berbasis model hybrid tidak hanya mampu memastikan kontinuitas layanan komunikasi ketika infrastruktur konvensional terganggu, tetapi juga mendukung interoperabilitas antarinstansi, yang merupakan faktor kunci dalam efektivitas koordinasi lapangan. Melalui mekanisme priority access dan preemption, petugas tanggap darurat dapat memperoleh akses komunikasi yang stabil dan tidak terganggu oleh lonjakan trafik umum saat terjadi bencana.
Oleh karena itu, pemerintah Indonesia perlu mengambil langkah konkret dalam merancang dan menerbitkan kebijakan pendukung, termasuk regulasi tentang alokasi spektrum khusus, standar teknis layanan darurat, serta skema kerja sama publik-swasta. Di samping itu, pembangunan jaringan inti nasional yang aman dan andal harus menjadi prioritas, agar sistem komunikasi darurat dapat berfungsi optimal sebagai tulang punggung respon kebencanaan di seluruh wilayah Indonesia.
5.2 SARAN
Untuk mendukung implementasi model hybrid dalam sistem komunikasi bencana, diperlukan regulasi khusus yang mengatur alokasi spektrum, standar teknis, serta pola kerja sama antara pemerintah dan sektor swasta. Tanpa payung hukum yang jelas, koordinasi dan interoperabilitas antarinstansi akan sulit tercapai.
Selain itu, pelatihan rutin bagi petugas dan peningkatan kapasitas teknis harus menjadi prioritas agar sistem dapat dioperasikan secara optimal dalam situasi darurat. Pengadaan perangkat komunikasi yang tangguh dan sesuai dengan kebutuhan lapangan juga perlu direncanakan secara terstruktur.
Dukungan sektor swasta sangat penting melalui kerja sama yang terukur dan saling menguntungkan. Pemerintah dapat memfasilitasi hal ini melalui insentif dan jaminan kebijakan yang mendukung kolaborasi jangka panjang dalam sistem komunikasi darurat nasional.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Siswoyo, I. (2025). Telaah Model Penyelenggaraan Sistem Komunikasi Radio Pitalebar untuk Perlindungan Masyarakat dan Penanggulangan Bencana (PMPB). Jurnal Sosial dan Teknologi (SOSTECH), Vol. 5 No. 4. https://sostech.greenvest.co.id